Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Bagaimana Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-Lalai

Jumat, 23 Agustus 24
***

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah atas baginda Muhammad-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-penutup para Nabi dan imam para rasul dan atas keluarganya serta para sahabatnya secara menyeluruh.

Saudara, saudariku

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

Wa ba’du.

Bagaimana Musa -Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-bisa lalai ? Bagaimana ia-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ – lalai terhadap ikan demikian besarnya keinginannya untuk mengikuti ustadnya ? Bagaimana ia lupa bahwa ustadznya mensyaratkan padanya agar tidak bertanya kepadanya ? Bagaimana hal itu bisa terjadi ?

Mungkin dalam pandangan Musa -Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- bahwa ustadznya akan mengajarinya dengan cara-cara konfevensional, dengan pena, kertas dan kitab, dalam kelas dengan papan tulis. Akan tetapi ia dikejutkan dengan menemaninya ke sebuah prahu tanpa ia ketahui bahwa ia telah masuk ke palajaran pertama. Di dalam perahu itu Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- dikejutkan lagi dengan sesuatu yang sama sekali tidak ia perkirakan. Ustadznya melubangi perahu yang sedang di tengah lautan, dan ia terkejut melihat para penumpangnya yang berlomba menuju lobang itu untuk menutupinya supaya air tidak masuk dan tidak memancar semakin banyak ke dalam perahu yang bisa menenggelamkan perahu itu. Di sini Musa -Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- heran dan terkejut. Permasalahannya antara hidup dan mati, maka ia menuju kepada ustadznya, ia lupa bahwa ia adalah pengajarnya, ia lupa bahwa ia telah terikat perjanjian untuk tidak bertanya tentang sesuatu sampai diterangkan kepada tentangnya. Ia berkata,


ÃóÎóÑóÞúÊóåóÇ áöÊõÛúÑöÞó ÃóåúáóåóÇ áóÞóÏú ÌöÆúÊó ÔóíúÆðÇ ÅöãúÑðÇ [ÇáßåÝ : 71]


“Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya ? Sesungguhnya kamu telah berbuat kesalahan yang besar.” (al-Kahfi : 71)

Sambil bertanya dan mengingkari, ia menuduh ustadznya telah melakukan sebuah kemungkaran.

Dalam bayangan saya, ustadznya tersenyum dengan penuh kelembutan ia berkata,


Ãóáóãú ÃóÞõáú Åöäøóßó áóäú ÊóÓúÊóØöíÚó ãóÚöíó ÕóÈúÑðÇ [ÇáßåÝ : 72]


Dia (Khidhr) berkata, “Bukankah aku telah berkata, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan bersabar bersama denganku.” (al-Kahfi : 72)

Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- pun kembali mulai menuju kebenaran dan ingatannya, makanya ia meminta maaf. Ia segera meminta maaf karena ingin tetap boleh menemani ustadznya.


ÞóÇáó áóÇ ÊõÄóÇÎöÐúäöí ÈöãóÇ äóÓöíÊõ æóáóÇ ÊõÑúåöÞúäöí ãöäú ÃóãúÑöí ÚõÓúÑðÇ [ÇáßåÝ : 73]


Musa berkata, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (al-Kahfi : 73)

Ustadznya menerima permintaan maafnya, lalu keduanya mulai berjalan kembali di suatu jalan sang pengajar ini menemui anak-anak kecil yang sedang bermain. Kemudian ia memanggil salah seorang tertentu di antara mereka. Setelah mendekat, anak itu langsung dipukul kepalanya hingga meninggal. Peristiwa ini sungguh mengagetkan. Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- yang saat itu sedang di sampingnya harusnya ingat bahwa ustadznya berkata kepadanya,


ÝóáóÇ ÊóÓúÃóáúäöí Úóäú ÔóíúÁò ÍóÊøóì ÃõÍúÏöËó áóßó ãöäúåõ ÐößúÑðÇ [ÇáßåÝ : 70]


Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu (al-Kahfi : 70)

Dan Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-juga harusnya ingat bahwa Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì telah menyebut pengajar ini sebagai seorang hamba dari hamba-hamba Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì,


ÂÊóíúäóÇåõ ÑóÍúãóÉð ãöäú ÚöäúÏöäóÇ æóÚóáøóãúäóÇåõ ãöäú áóÏõäøóÇ ÚöáúãðÇ [ÇáßåÝ : 65]


Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (al-Kahfi : 65)

Sehingga Musa -Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- bagaimana pun juga tidak memposisikannya sebagai orang yang tertuduh (berbuat salah). Akan tetapi Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-bangkit dengan penuh kemarahan dan mengingkari perbuatan itu, karena telah diturunkan dalam syariatnya, yang telah dilupakan oleh kaum Zionis bahwa,


ãóäú ÞóÊóáó äóÝúÓðÇ ÈöÛóíúÑö äóÝúÓò Ãóæú ÝóÓóÇÏò Ýöí ÇáúÃóÑúÖö ÝóßóÃóäøóãóÇ ÞóÊóáó ÇáäøóÇÓó ÌóãöíÚðÇ æóãóäú ÃóÍúíóÇåóÇ ÝóßóÃóäøóãóÇ ÃóÍúíóÇ ÇáäøóÇÓó ÌóãöíÚðÇ


Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seakan-akan dia telah memelihara manusia semuanya.’ (al-Maidah : 32)

Berdasarkan logika ini, Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- berkata kepada ustadznya,


ÃóÞóÊóáúÊó äóÝúÓðÇ ÒóßöíøóÉð ÈöÛóíúÑö äóÝúÓò áóÞóÏú ÌöÆúÊó ÔóíúÆðÇ äõßúÑðÇ


Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain, sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar (al-Kahfi : 74)

Ustadznya berdiri penuh dengan kelembutan berkata kepadanya,


Ãóáóãú ÃóÞõáú áóßó Åöäøóßó áóäú ÊóÓúÊóØöíÚó ãóÚöíó ÕóÈúÑðÇ


Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku (al-Kahfi : 75)

Maka Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- pun dalam kesesakan yang sangat, ia ingat bahwa ia telah lupa untuk yang kedua kalinya bersama ustadznya. Sekarang ia tidak tahu, akankah ia mengatakan sekali lagi, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.” Padahal ia telah mengucapkannya sebelumnya ?

Akankah ia mundur dari ustadznya ? Bagaimana dengan keinginannya yang kuat untuk menemaninya ? Kemudian ia mendapati jalan keluar yang menggabungkan antara keduanya, ia berkata kepada ustadznya,


Åöäú ÓóÃóáúÊõßó Úóäú ÔóíúÁò ÈóÚúÏóåóÇ ÝóáóÇ ÊõÕóÇÍöÈúäöí ÞóÏú ÈóáóÛúÊó ãöäú áóÏõäøöí ÚõÐúÑðÇ


Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan udzur kepadaku (al-Kahfi : 76)

Dia-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-membuat suatu batasan, bahwa kelupaannya yang terakhir nanti akan menjadi pembatas yang memisahkan dan memutuskan kebersamaan ini. Karena besarnya keinginannya untuk menemani, maka seharusnya Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-tidak lupa lagi. Tapi kenyataannya ia tetap lupa.


ÝóÇäúØóáóÞóÇ ÍóÊøóì ÅöÐóÇ ÃóÊóíóÇ Ãóåúáó ÞóÑúíóÉò


Maka keduanya berjalan ; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri (al-Kahfi : 77)

Saat itu bekal makanan keduanya sudah habis


ÇÓúÊóØúÚóãóÇ ÃóåúáóåóÇ


Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu (al-Kahfi : 77)

Ternyata seluruh penduduk negeri itu adalah orang-orang yang kikir.


ÝóÃóÈóæúÇ Ãóäú íõÖóíøöÝõæåõãóÇ


Tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka (al-Kahfi : 77)

Kikir itu jauh dari Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì, jauh dari manusia, jauh dari Surga dan dekat dari Neraka. Musa -Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- pun marah dengan kekikiran mereka semua. Dalam kondisi sedang marah terhadap penduduk negeri itu, ia dikejutkan dengan ustadznya yang melihat,


ÌöÏóÇÑðÇ íõÑöíÏõ Ãóäú íóäúÞóÖøó


Dinding rumah yang hampir roboh (al-Kahfi : 77)

Karena bangunan itu sudah tua yang akan roboh. Ustadznya menyingsingkan lengan bajunya dan mulai memperbaiki tembok ini, mendirikannya dan menguatkannya serta menjaga agar tetap baik. Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-memandang hal itu dengan penuh keheranan, “Sebenarnya bisa saja engkau mengerjakan ini dengan imbalan upah yang bisa kita pakai untuk membeli apa yang bisa kita makan dan kita minum.” Ia berkata kepada ustadznya,


áóæú ÔöÆúÊó áóÇÊøóÎóÐúÊó Úóáóíúåö ÃóÌúÑðÇ


Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu (al-Kahfi : 77)

Dan ternyata ini adalah pemisah.

Ia (Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-) sudah memilih dan sudah membuat batasan. Maka bagi ustadnya tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan apa yang telah menjadi kesepakatan. Ia berkata,


åóÐóÇ ÝöÑóÇÞõ Èóíúäöí æóÈóíúäößó ÓóÃõäóÈøöÆõßó ÈöÊóÃúæöíáö ãóÇ áóãú ÊóÓúÊóØöÚú Úóáóíúåö ÕóÈúÑðÇ


Inilah perpisahan antara aku dengan kamu ; aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya (al-Kahfi : 78)

Mulailah ia memberitahunya tentang perbuatannya melubangi perahu, yang tidak disukai oleh orang-orang miskin, padahal itu adalah baik bagi mereka.


æóÚóÓóì Ãóäú ÊóßúÑóåõæÇ ÔóíúÆðÇ æóåõæó ÎóíúÑñ


Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia amat baik bagimu (al-Baqarah : 216)

Dikatakan baik bagi mereka, karena lubang pada perahu adalah suatu cacat yang tidak menghalanginya dari fungsi utamanya, tapi itu bisa menyelamatkannya dari rampasan tangan raja yang zhalim, yang memperhatikan setiap perahu yang lewat. Apabila perahu tersebut tanpa cacat, ia akan merampasnya, tapi apabila di perahu tersebut ada cacatnya, maka ia membiarkannya. Karena itu ia hendak memberi cacat pada perahu itu agar tetap bisa dimiliki oleh pemiliknya.


ÝóÚóÓóì Ãóäú ÊóßúÑóåõæÇ ÔóíúÆðÇ æóíóÌúÚóáó Çááøóåõ Ýöíåö ÎóíúÑðÇ ßóËöíÑðÇ [ÇáäÓÇÁ : 19]


Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (an-Nisa : 19)

Adapun pembunuhan terhadap anak kecil, maksudnya agar anak itu kembali kepada Rabbnya dalam keadaan syahid, ridha dan diridhai, sebagai ganti apabila ia tumbuh sampai dewasa kemudian ia menjadi kufur serta menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, karena adanya ikatan bapak dan anak, atau ikatan ibu dan anak.


æóÃóãøóÇ ÇáúÛõáóÇãõ ÝóßóÇäó ÃóÈóæóÇåõ ãõÄúãöäóíúäö ÝóÎóÔöíäóÇ Ãóäú íõÑúåöÞóåõãóÇ ØõÛúíóÇäðÇ æóßõÝúÑðÇ (80) ÝóÃóÑóÏúäóÇ Ãóäú íõÈúÏöáóåõãóÇ ÑóÈøõåõãóÇ ÎóíúÑðÇ ãöäúåõ ÒóßóÇÉð æóÃóÞúÑóÈó ÑõÍúãðÇ (81) [ÇáßåÝ : 80 ¡ 81]


Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang Mukmin, dan kami khwatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya) (al-Kahfi : 80-81)

Kedua ibu bapaknya akan bersabar karena keimanan mereka, dan karena kesabaran itu mereka mendapatkan pahala yang tidak terbatas, dan pada masa yang akan datang mereka mendapat ganti yang baik.

Adapun negeri yang orang-orangnya kikir, biar saja kikir. Tetapi aku ingin baik kepada dua anak yatim. Perbuatan baik itu tidak boleh berhenti meski ada penghalangnya, karena orang yang berbuat baik itu hubungannya dengan Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì, bukan dengan manusia.


æóÃóãøóÇ ÇáúÌöÏóÇÑõ ÝóßóÇäó áöÛõáóÇãóíúäö íóÊöíãóíúäö Ýöí ÇáúãóÏöíäóÉö æóßóÇäó ÊóÍúÊóåõ ßóäúÒñ áóåõãóÇ æóßóÇäó ÃóÈõæåõãóÇ ÕóÇáöÍðÇ ÝóÃóÑóÇÏó ÑóÈøõßó Ãóäú íóÈúáõÛóÇ ÃóÔõÏøóåõãóÇ æóíóÓúÊóÎúÑöÌóÇ ßóäúÒóåõãóÇ ÑóÍúãóÉð ãöäú ÑóÈøößó æóãóÇ ÝóÚóáúÊõåõ Úóäú ÃóãúÑöí Ðóáößó ÊóÃúæöíáõ ãóÇ áóãú ÊóÓúØöÚú Úóáóíúåö ÕóÈúÑðÇ


Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (al-Kahfi : 82)

Dari tiga peristisa dan empat kelalaian ini, kita bisa pelajari bahwa manusia bisa saja mendapat nikmat Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì tapi dalam bungkus yang tidak disukai, bahwa akidah itu lebih mulia daripada anak-anak, keburukan orang tidak boleh mencegah untuk berbuat baik kepada sebagian orang dan memuliakan anak yatim itu adalah syariat Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì semua agama.

Kita juga pelajari bahwa Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-lupa tentang ikan, lupa dan mengingkari perbuatan ustadznya yang melubangi perahu, lupa dan mengingkari perbuatan ustadznya yang membunuh anak kecil dan ia lupa serta mengingkari perbuatan ustadznya yang mendirikan tembok.

Meski sudah empat kali lalai. Bagi Bani Israil ia (Musa-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-)tetap seorang Nabi. Kelalaiannya tidak menciderai kenabiannya bagi mereka, bagaimana bisa kelalaian yang hanya sekali menciderai kenabian Muhammad Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ? Sungguh ini adalah karena hawa nafsu yang mereka telah pasrah total kepadanya.

Wahai saudaraku,

Di antara hikmah Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì yang telah menceritakan dalam surat al-Kahfi, sebelumnya ada kisah tentang ash-Habul Kahfi, adalah bukti tentang kenabian Muhammad Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó, karena beliau Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó mengabarkan kepada mereka tentang kisah-kisah yang ghaib, padahal beliau Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó adalah seorang yang buta huruf, maka tidaklah berita ini melainkan dari wahyu Allah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì.

Setelahnya ada kisah tentang Dzulqarnain yang termasuk dalam kisah ghaib juga, diceritakan kepada Rasulullah ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì seperti kisah tentang Musa -Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ- dan hamba shaleh sebagaimana telah kita sebutkan.


Åöäøó Ýöí Ðóáößó áóÐößúÑóì áöãóäú ßóÇäó áóåõ ÞóáúÈñ Ãóæú ÃóáúÞóì ÇáÓøóãúÚó æóåõæó ÔóåöíÏñ


Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. “(Qaf : 37)

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

(Redaksi)

Sumber :

Al-Yahud Fi al-Qur’an al-Karim, Syaikh Shalah Abu Ismail, ei, hal. 213-221.



Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=1081