Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits
Lupa dengan Nadzar
Selasa, 17 September 24
***

Soal :

Penanya seorang perempuan dengan nama inisial N.‘A. dari Mesir dan sekarang tinggal di KSA, mengatakan : Aku dulu pernah mempunyai harapan dan cita-cita di mana aku berharap akan terwujudkan dari Allah azza wa jalla, dan aku pun telah bernadzar dengan berbagai bentuk nadzar agar hal tersebut terwujudkan. Dan, aku pun pergi ke beberapa masjid wali-wali Allah orang-orang yang shaleh. Aku bernadzar di sana. Demikian pula, setelah terealisasikannya harapan dan cita-cita tersebut, aku pun melaksanakan nazar-nazar yang aku ingat. Maka, saya berharap Anda berkenan memberikan penjelasan, apakah nazar-nazar yang aku terlupakan ini menjadi gugur, atau, apakah yang hendaknya aku lakukan ?

Semoga Allah azza wa jalla membalas Anda dengan kebaikan.

Jawab :

Syaikh ΡσΝφγσευ Ηααευ menjawab, kita katakan sebagai jawaban tehadap pertanyaan yang penting ini :

Pertama : tindakannya bernazar kepada Allah azza wa jalla agar ia memperoleh maksudnya ini merupakan kesalahan yang besar, karena Nabi Υσαψσμ Ηααευ Ϊσασνϊεφ ζσΣσαψσγσ melarang untuk bernazar, dan beliau mengatakan :


Εφδψσευ ασΗ νσΓϊΚφν ΘφΞσνϊΡς


Sesugguhnya nazar itu tidak mendatangkan kebaikan.[1]

Maka, bukanlah nadzar dialah yang akan menarik kebaikan bagi seseorang, dan bukan pula nadzar itu yang akan menolak keburukan. Apabila Allah azza wa jalla menetapkan suatu ketetapan, maka tidak ada yang dapat menolaknya, tidak dengan nadzar, tidak pula dengan yang lainnya. Datang keterangan dalam hadis lain :


Εφδψσευ ασΗνσΡυΟψυ ΤσνϊΖπΗ


Sesungguhnya nadzar itu tidak akan dapat menolak sesuatu pun. [2]

Sesungguhnya apa yang Allah azza wa jalla kehendaki akan terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki niscaya tidak akan terjadi. Maka dari itu, janganlah seseorang menyangka bahwa bila ia menazarkan sesuatu dan ia pun mendapatkan apa yang dimaksudkannya bahwa hal tersebut karena nazar yang dilakukannya. Karena nazar itu makruh (tidak disukai) terlarang melakukanya, dan sesuatu yang makruh (tidak disukai) itu tidaklah dapat menjadi sarana yang menyampaikannya kepada Allah azza wa jalla, bagaimana Anda bertawasul kepada Allah dengan sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah ? Bukanlah hal ini bertolak belakang ? (Yang benar) Seseorang bertawasul kepada Allah azza wa jalla hanya dengan sesuatu yang dicintai-Nya-yakni, dengan sesuatu yang dicintai oleh Allah azza wa jalla-sehingga orang yang bertawasul tersebut memperoleh sesuatu yang disukainya.

Kedua : Tentang kepergiannya ke masjid-masjid para wali dan orang-orang shaleh, saya memahami dari hal ini bahwa di sana terdapat masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan para wali dan orang-orang Shaleh. Masjid-masjid ini yang dibangun di atas kuburan para wali dan orang-orang shaleh bukanlah tempat untuk melakukan ibadah, bukan pula tempat untuk melakukan amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allah azza wa jalla), shalat yang dilakukan di dalamnya tidak sah, dan masjid-masjid tersebut wajib dirobohkan, kerena Nabi Υσαψσμ Ηααευ Ϊσασνϊεφ ζσΣσαψσγσ melarang membangun bangunan di atas kuburan, dan beliau bersabda,


ασΪϊδσΙυ Ηααψσεφ Ϊσασμ ΗαϊνσευζΟφ ζσΗαδψσΥσΗΡσμ ΗΚψσΞσΠυζΗ ήυΘυζΡσ ΓσδϊΘφνσΗΖφεφγϊ γσΣσΗΜφΟσ


Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani di mana mereka menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid [3]

Dan, wajib atas para waliyul amri di negara-negara yang di dalamnya terdapat masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan untuk merobohkannya bilamana memang mereka adalah para penasehat untuk Allah, Rasul-Nya dan kitab-Nya, dan kaum Muslimin.

Adapun apabila masjid-masjid tersebut lebih dulu adanya daripada kuburan dan penguburan mayat di masjid, maka sesungguhnya yang wajib dilakukan adalah membongkar kuburan tersebut (dan memindahkan mayat ke tempat lain), karena masjid itu tidaklah dibangun untuk sebagai kuburan, namun masjid itu dibangun untuk (tempat) shalat, dzikir, dan membaca al-Qur’an. Maka, yang wajib adalah membongkar kuburan tersebut dan mengeluarkan mayat darinya dan menguburkannya bersama orang-orang (di tempat pemakaman umum), dan tidak boleh membiarkan kuburan di dalam masjid tersebut.

Lantas, jika ada orang yang mengatakan, ‘Bagaimana Anda mengatakan ini sedangkan kuburan Nabi Υσαψσμ Ηααευ Ϊσασνϊεφ ζσΣσαψσγσ berada di dalam masjidnya ? Sekarang, Masjid itu meliputinya dari segala sisi dan kaum Muslimim masih saja dapat menyaksikan hal ini ?.’

Jawabannya, bahwa umat ini tidaklah akan berkumpul dan bersepakat di atas kesesatan, dan kuburan Nabi Υσαψσμ Ηααευ Ϊσασνϊεφ ζσΣσαψσγσ tidaklah dibangun di atasnya masjid tersebut, dan tidaklah Rasulullah Υσαψσμ Ηααευ Ϊσασνϊεφ ζσΣσαψσγσ dimakamkan di dalam masjid, tetapi kuburannya berada di dalam rumahnya di kamar ‘Aisyah ΡσΦφνσ Ηααευ ΪσδϊεσΗ , kemudian ketika kaum Muslimin membutuhkan kepada perluasan masjid, mereka pun kemudian meluaskannya, maka masuklah ke dalam area masjid rumah-rumah istri-istri Nabi Υσαψσμ Ηααευ Ϊσασνϊεφ ζσΣσαψσγσ dan termasuk di dalamnya adalah rumah ‘Aisyah, akan tetapi rumah Aisyah itu merupakan rumah yang tersendiri, kaum Muslimin tidaklah meniatkan agar rumah tersebut menjadi bagian dari masjid, maka rumah tersebut merupakan kamar di dalam sebuah masjid, kamar tersebut telah berdiri sebelum pembangunan masjid-yakni, sebelum adanya penambahan di dalam masjid-kemudian ada penambahan di dalam masjid, lalu rumah tersebut dikelilingi dengan tiga tembok. Jadi, rumah tersebut merupakan bangun menyendiri yang mendahului keberadaan tambahan ini, dan ketika mereka menambahkannya, mereka berkeyakinan bahwa ini merupakan bangunan yang terpisah dari masjid terbedakan dengan tembok-temboknya. Maka, tidak seperti (tempat) yang didatangkan dengan mayat dan dikuburkan di sisi masjid, atau (tidak juga seperti) masjid yang dibangun di atas kuburan, maka ketika itu di dalamnya tidak ada hujjah secara mutlak bagi para pemilik masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan, atau masjid-masjid yang di kubur di dalamnya orang-orang yang telah meninggal dunia. Dan, berhujjah dengan kasus ini tidak lain hanyalah merupakan syubhat yang dilemparkan oleh para pengikut hawa nafsu di tengah-tengah manusia, agar mereka menjadikan dari syubhat tersebut wasilah yang mengantarkan kepada pembenaran sikap mereka dalam masalah masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan-kuburan mereka. Betapa banyak perkara-perkara yang mengandung syubhat-bahkan yang dijadikan sebagai syubhat oleh orang yang membuat kesamaran pada perkara-perkara tersebut, agar mereka menyesatkan para hamba Allah dengan syubhat tersebut. Ini dua persoalan penting untuk menjawab pertanyaan ini.

Adapun persoalan ketiga, yaitu, bahwa ia tidak tahu bahwa nazar-nazar yang dinazarkan telah ditunaikannya semuanya. Maka, tidak wajib atasnya untuk menunaikan nazarnya kecuali apa-apa yang telah diketahuinya, karena pada asalnya adalah terbebasnya seseorang dari beban kewajiban, maka apa yang telah diketahuinya berupa beberapa nazarnya wajib atasnya untuk menunaikannya, dan apa yang tidak diketahuinya, maka tidak wajib atasnya (untuk menunaikannya).

Akan tetapi, saya ulangi lagi bahwa nazar itu terlarang, baik nazar tersebut bersifat mutlak atau pun bersifat menggantung dengan sebuah syarat, karena Nabi Υσαψσμ Ηααευ Ϊσασνϊεφ ζσΣσαψσγσ melarang bernazar dan beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya nazar itu tidak mendatangkan kebaikan.’ Jadi, nazar itu tidak mendatangkan kebaikan, tidak dapat menolak suatu ketetapan, dan tidak pula mengangkat bala. Hal itu hanya membebani diri seseorang dan mewajibkannya (melakukan) sesuatu yang sejatinya tidak wajib baginya, baik nazar tersebut tergantung dengan sebuah syarat, seperti seseorang mengatakan, ‘Jika Allah menyembuhkan penyakitku, maka aku berkewajiban melakukan ketaatan kepada Allah demikian dan demikian.’ Atau pun nazar tersebut tidak tergantung, seperti seseorang mengatakan, ‘aku bernazar kepada Allah untuk berpuasa 10 hari setiap bulan, misalnya.’ Maka dari itu, hendaklah seseorang menjauhkan diri dari bernazar. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Wallahu A’lam

Sumber :

Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Jilid 1, hal. 82-84, soal : 46.

Catatan :

[1] HR. Muslim, kitab an-Nadzar, bab : an-Nahyu ‘An an-Nadzar, no. 1639

[2] HR. al-Buklhari, Kitab an-Nadzar, bab Ilqa-u an-Nadzar al-A’abd Ilaa al-Qadar, no. 6608, Muslim. Kitab an-Nadzr, bab : an-Nahyu ‘An an-Nadzr, no. 1639

[3] HR. al-Bukhari : kitab ash-Shalat, bab ash-Shalat fi al-Bai’ah, no. 435, Muslim : kitab al-Masajid, bab an-Nahyu ‘An Bina-i al-Masajid ‘Ala al-Qubur Wa ittikha-dzu ash-Shuwaru Fi-ha Wa an-Nahyu ‘An Ittikhaa-dzi al-Qubur Masa-jid, no. 529



Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatfatwa&id=1963